KHAUF Dan ROJA' Dalam Tasawuf
oleh: Guntur Gumelar el-KHAS
Penjelasan.
Maqamat
(stage stations) pada dasarnya rangkaian tingkatan yang harus dilalui oleh
seorang salik untuk mencapai derajat sufi pada posisi puncak dihadapan
Allah SWT. Artinya maqamat merupakan kerangka eksternal dan fase-fase yang
harus dilalui oleh salik guna mencapai tujuan tertinggi, yaitu mencapai
tingkat kesempurnaan dimana ia menyatu dalam kemaha sempurnaan.
Dan
diantaranya ialah khouf (ketakutan dan kekhawatiran) dan roja’ (pengharapan).
Kedua komponen ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Makky
mengumpamakan roja’ sebagai satu sayap yang tidak bisa terbang tanpa sayap yang
keduanya. Begitu pula seorang salik diyakini tidak akan bisa
kesasarannya bila tidak disertai khouf dan roja’ secara bersamaan.
Para
sufi menjelaskan maqam ini dengan rinci, persfektif mereka didasari dari
Al-Quran dan Hadits lalu bagaimanakah Al-Qur’an dan Hadits menjelaskan mengenai
hal ini?. Dalam kajian hal ini penulis akan mencoba memaparkan bagaimana
Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama islam ini memaparkan khauf dan roja’.
A. Pengertian Khauf dan Raja’
Khauf ialah rasa takut, yakni
suatu sikap rohani merasa cemas karena kurang sempurna pengabdiannya dan
kekhawatiran jika allah tidak menerima taubat dan ibadahnya[1]. Khauf
merupakan cambuk yang digunakan allah untuk menggiring hamba-hambanya menuju
ilmu dan amal, supaya dengan keduanya mereka dapat dekat kepada allah. Khauf juga
dapat diartikan dengan kesakitan hati, karena membayangkan sesuatu
yang ditakuti yang akan menimpa dirinya di masa yang
akan mendatang.
Raja’ yaitu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan
nikmat allah yang di sediakan untuk hamba-hambanya yang saleh. Allah maha
pengampun, pengasih dan penyayang, maka seorang hamba yang taat merasa optimis
akan memperoleh karunia allah. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan,
merasa lapang dada, dan ia merasa hal itu akan terjadi.
Khauf dan raja’ juga dua hal
yang saling berhubungan. Seperti orang yang takut akan tetapi orang
itu berharap juga, yaitu orang yang takut kepada allah akan tetapi mereka juga
berharap akan kasih saying-nya. Seseorang dapat
dikatakan bersikap raja’ ialah apabila ia melakukan sesuatu
(berusaha) atau mengabdi sebaik-baiknya[2].
B. Khauf dan Raja’ Menurut Para Ulama
Menurut para sufi, Khauf adalah
suatu sikap mental merasa takut kepada allah karena kurang sempurna
pengabdiannya[3]. Takut dan khawatir kalau-kalau allah tidak
senang padanya. Dengan adanya perasaan seperti itu, maka ia selalu berusaha
agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki allah, dan
mendorongnya untuk menjauhi perbuatan maksiat. Perasaan khauf timbul karena
pengenalan dan kecintaan kepada allah sudah mendalam sehingga ia merasa
khawatir kalau Allah melupakannya dan takut
dengan siksa allah.
Menurut kalangan kaum sufi juga raja’
dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti
berharap atau optimisme yaitu perasaan senang hati karena menanti sesuatu yang
diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini telah ditegaskan dalam
Al-Qur’an:
انّ الذّين امنوا والذّين ها
جرواوجهدوا فى سبيل الله أولىًك يرجون رحمت الله ولله غفوررحيم ( البقرة : 218)
Artinya:
“ Sesungguhnya orang-orang
yang beriman yang hijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah orang-orang
yang mengharap rahmat Allah. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang “.(
Q.S. al-Baqarah {2}: 218 ).[4]
Orang yang berharap
dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari
kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya jika harapannya hanya
angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan,
harapannya sia-sia.
Raja’ juga
menuntut tiga perkara yaitu.
a. Cinta kepada apa yang diharapkan.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak dibarengi
dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap
ialah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai disuatu tempat
tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambak,
ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang mengharap rida atau ampunan
Tuhan, diiringi pula dengan rasa takut akan siksaan Tuhan.
Ahmad faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang
digunakan Allah untuk menggiring hambanya menuju ilmu dan amal supaya dengan
keduanya itu mereka dapat dekat kepada Allah. Khauf ialah kesakitan hati karena
membayangkan sesuatu yang diakui, yang akan menimpah diri dimasa yang akan
datang, khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk
senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf
dan raja’ saling berhubungan, kekurangan khauf menyebabkan seseorang lalai dan
berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikan putus asa dan pesimis. Begitu juga
sebaliknya, apabila sikap raja’ terlalu besar, hal itu akan membuat seseorang
menjadi sombong dan meremehkan amalan-amalannya karena optimisnya yang
berlebihan.[5]
Pendek kata dengan khauf
(takut) dan raja` (pengharapan) seorang mukmin akan selalu ingat bahwa
dirinya akan kembali ke hadapan Sang Penciptanya (karena adanya rasa takut),
disamping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan (karena adanya pengharapan).
Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang
berhati-hati karena takut akan (azab) tuhan mereka, dan orang-orang yang
beriman dengan ayat-ayat tuhan mereka, dan orang-orang yang tidak
mempersekutukan tuhan mereka (dengan sesuatu apapun), dan orang-orang yang
memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut (karena mereka
tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada tuhan mereka, mereka itu
bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan dan merekalah orang-orang yang segera
memperolehnya.” [QS. Al-Mukminun: 57-61].
‘Aisyah -radhiyallahu ‘anha-
pernah bertanya kepada Rosulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- apakah mereka
itu (yang dimaksud dalam ayat diatas) adalah orang-orang yang meminum khamr,
berzina, dan mencuri? Rosulullah menjawab,
“Bukan! Wahai putri Ash-Shiddiq. Justru mereka adalah orang-orang yang
melakukan shoum, sholat, dan bershodaqah, dan mereka khawatir tidak akan
diterima amalannya. Mereka itulah orang-orang yang bergegas dalam kebaikan.”
[HR. At-Tirmidzi dari 'Aisyah].
Kehawatiran inilah yang dinamakan khauf.
Dalam hadis ini bahwasanya pada zaman nabi ada orang-orang yang melakukan
konsep khauf, dan kemudian nabi menjelaskan mengeni hal tersebut.
Allah juga berfirman, “Sesungguhnya
mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan
cemas.” [QS. Al-Anbiya': 90].
Dalam hadits Nabi SAW bersabdah yaitu,
لَوْ يَعْلَمُ اْلمُؤْمِنُ مَا عِنْدَ اللهِ مِنَ
الْعُقُوْبَةِ ، مَا طَمِعَ بِجَنَّتِهِ أَحَدٌ ، وَلَوْ يَعْلَمُ الْكَافِرُ مَا
عِنْدَ اللهِ مِنَ الرَّحْمَةِ ، مَا قَنَطَ مِنْ جَنَّتِهِ أَحَدٌ
“Seandainya seorang mukmin mengetahui siksa yang ada di sisi Allah,
maka dia tidak akan berharap sedikitpun untuk masuk syurga. Dan seandainya
orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, maka dia tidak akan
berputus asa sedikitpun untuk memasuki Syurga-Nya.” (HR. Muslim)
Ketika seseorang berada dalam kondisi khauf, maka yang selalu
terbayang baginya adalah siksa dan azab Allah yang sangat pedih. Bagaimana
tidak? Bukankah hidup ini penuh dengan godaan dosa. Di setiap langkah, laku,
dan ucap, selalu saja ada salah dan khilaf. Nikmat Allah berupa mata untuk
melihat hanya pantas memandang hal-hal baik. Manakala mata tersebut digunakan
memandang hal yang haram maka yang paling pantas untuknya adalah mengembalikan
mata itu kepada Allah. Telinga, tangan, kaki, dan segala organ tubuh yang Allah
karuniakan kepada manusia hanya diperuntukkan untuk melaksanakan ketaatan.
Manakala digunakan untuk maksiyat, maka seseorang tidak berhak lagi atas segala
karunia itu. Dan Allah ‘sangat’ berhak untuk menyiksa siapapun yang
menyalahgunakan nikmat dan karunia-Nya. Dalam kondisi ini, tidak seorang pun
yang boleh merasa aman dari siksa tersebut. Allah berfirman dalam QS. Al-A’raf:
99:
فَلا
يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya:
“Tiada seorang pun yang merasa aman dari siksa Allah kecuali dia termasuk
golongan yang merugi”.
Sebaliknya, dalam kondisi rajaa’, seseorang dapat memastikan bahwa
dia pasti mendapat rahmat, kasih sayang, dan ampunan Allah. Bagaimana tidak?
Padahal orang kafir pun, sebagaimana hadis di atas, berhak untuk berharap masuk
syurga. Bahkan Allah melarang siapapun untuk berputus asa dari rahmat-Nya.
Allah berfirman dalam QS. Yusuf: 87:
إِنَّهُ
لا يَايْئسُ مِنْ رَوْحِ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْكَافِرُونَ
Artinya:
“Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali golongan
orang-orang kafir”.[6]
C. Macam-macam Khauf Menurut Para Ulama
Menurut Imam ghozali khauf terbagi atas dua macam:
1) Khauf karena khawatir kehilangan nikmat yang membuat orang untuk
memelihara dan memanfaatkan nikmat kepada tempatnya.
2) Khauf kepada siksaan karena kemaksiatan yang dilakukan. Rasulullah bersabda : aku adalah orang yang
paling kenal kepada allah dari pada kamu dan yang paling takut kepadanya[7].
Menurut Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :
1) raja’ bersama
Allah (fi Allah)
2) raja’ di dalam
luasnya rahmat Allah (fi sa’ati rahmat Allah)
3) raja’ di dalam
pahala Allah (fi tsawab Allah).[8]
Para ulama juga membagi khauf
menjadi lima macam yaitu:
Khauf ibadah, yaitu takut
kepada Allah, karena Dia Mahakuasa atas segala sesuatu, memuliakan siapa yang
dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi kepada
siapa yang dikehendaki-Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di Tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan.
Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan khaufus-sirr.
1. Khauf ibadah, yaitu takut kepada Allah, karena Dia
Mahakuasa atas segala sesuatu, memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya dan
menghinakan siapa yang dikehendaki-Nya, memberi kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan menahan dari siapa yang dikehendaki-Nya. Di Tangan-Nya-lah kemanfaatan dan kemudharatan.
Inilah yang diistilahkan oleh sebagian ulama dengan khaufus-sirr.
2. Khauf syirik, yaitu memalingkan
ibadah qalbiyah ini kepada selain Allah, seperti kepada para wali, jin,
patung-patung, dan sebagainya.
3. Khauf maksiat, seperti
meninggalkan kewajiban atau melakukan hal yang diharamkan karena takut dari
manusia dan tidak dalam keadaan terpaksa. Allah berfirman, “Sesungguhnya mereka
itu tidak lain syaitan-syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya
(orang-orang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka,
tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [QS. Ali Imran: 175].
4. Khauf tabiat, seperti takutnya manusia dari
ular, takut singa, takut tenggelam, takut api, atau musuh, atau selainnya.
Allah berfirman tentang Musa, “Karena itu, jadilah Musa di kota itu merasa
takut menunggu-nunggu dengan khawatir (akibat perbuatannya).” [QS. Al-Qashash:
18].
5. Khauf wahm, yaitu rasa takut yang tidak
ada penyebabnya, atau ada penyebabnya tetapi ringan. Takut yang seperti ini
amat tercela bahkan akan memasukkan pelakunya ke dalam golongan para penakut.
PENUTUP
a. Simpulan
Khauf ialah rasa takut, yakni suatu sikap rohani merasa
cemas karena kurang sempurna pengabdiannya dan kekhawatiran jika allah tidak
menerima taubat dan ibadahnya.
Raja’ yaitu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia dan
nikmat allah yang di sediakan untuk hamba-hambanya yang saleh. Allah maha
pengampun, pengasih dan penyayang, maka seorang hamba yang taat merasa optimis
akan memperoleh karunia allah. Jiwanya penuh pengharapan akan mendapat ampunan,
merasa lapang dada, dan ia merasa hal itu akan terjadi.
“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad di
jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang mengharap rahmat Allah. Dan Allah
maha pengampun lagi maha penyayang “.( Q.S. al-Baqarah {2}: 218 ).
Menurut Imam
ghozali khauf terbagi atas dua macam:
·
Khauf karena khawatir
kehilangan nikmat yang membuat orang untuk memelihara dan memanfaatkan nikmat
kepada tempatnya.
·
Khauf kepada siksaan karena
kemaksiatan yang dilakukan.
Rasulullah
bersabda : aku adalah orang yang paling kenal kepada allah dari pada kamu dan
yang paling takut kepadanya.
Menurut Al-Sarraj Raja’ terdiri atas tiga bagian :
·
raja’ bersama Allah (fi Allah)
·
raja’ di dalam luasnya rahmat Allah (fi sa’ati
rahmat Allah)
·
raja’ di dalam pahala Allah (fi tsawab Allah).
Para ulama
juga membagi khauf menjadi lima macam yaitu: khauf ibadah, khauf syirik, khauf maksiat, khauf tabiat,
khauf wahm.
DAFTAR PUSTAKA
H. m. jamil, ma, Cakrawala
Tasawuf, (Jakarta: gaung persada press, 2007) hal: 59.
H.a. rivay siregar, Tasawuf
Dari Sufisme Kklasik Ke-Neo Sufisme, (Jakarta: Pt Raja Grafindo Persada,
2000).
Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin,
Ilmu Tasawuf, CV Pustaka Setia, Bandung, Cetakan II September 2004
Rosihon Anwar, Akhlak
Tasawuf, Pustaka Setia, Bandung Cetakan I, Juli 2009
www.Padistudio.wordpress.com/2013/04/02/06.00
WIB/khauf-dan-raja’.www.Peradaban14islam.wordpress.com/2013/04/02/06.00
WIB/macam-macam-ahwal-4-raja’.
[1] H. m. jamil, ma, cakrawala tasawuf, (Jakarta: gaung persada press,
2007) hal: 59.
[2] Op cit, hal 61
[3] H.a. rivay siregar, tasawuf dari sufisme kklasik ke-neo sufisme,
(Jakarta: pt raja grafindo persada, 2000) cet 2.hal 32
[4] Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, ilmu tasawuf, CV pustaka setia,
bandung, cetakan II september 2004
[5] Rosihon Anwar, akhlak tasawuf, pustaka setia, Bandung cetakan I,
juli 2009
[6] Di unduh dari
www.Padistudio.wordpress.com/2013/04/02/06.00 WIB/khauf-dan-raja’.
[8] Di unduh dari
www.Peradaban14islam.wordpress.com/2013/04/02/06.00
WIB/macam-macam-ahwal-4-raja’.
Labels:
Karya Tulis
Thanks for reading Khauf dan Raja' dalam Tasawuf. Please share...!
0 Comment for "Khauf dan Raja' dalam Tasawuf"